Minggu, 03 April 2011

HUTANG

HUTANG
Oleh : Linda Nurhayati

 “Terserah!” seru Icah, setengah berteriak.
 “Maksud kamu... terserah gimana, Cah?” Suara Muhadi terdengar kebingungan.
 “Ya, kang Hadi mikir dong! Terserah gimana caranya supaya hutang kita bisa lunas. Aku malu kalau belanja ke warung Ceu Iis mesti gali lubang tutup lubang.” Icah menjawab masih dengan nada tinggi, lalu melengos meninggalkan suaminya yang tertunduk lesu sambil menghela nafas panjang.
Percekcokan seperti itu sering terjadi. Ini bermula sejak Muhadi ditipu mentah-mentah oleh Nurdin, tetangga baru waktu itu. Nurdin pandai bersilat kata sehingga Muhadi teperdaya dengan menyetujui untuk bekerja sama dalam bisnis jual beli tanaman jahe. Nurdin mengistilahkan usaha mereka itu sebagai ‘agribisnis’.
Diiming-imingi keuntungan yang menjanjikan, Muhadi memberanikan diri mengajak bosnya menjadi investor. Bosnya, Pak Yunus, adalah pengusaha mainan dan alat peraga edukatif yang sukses, di mana Muhadi menjadi karyawan setia. Bukan bosnya saja, Muhadi bahkan mengajak pamannya berinvestasi.
Hasil lobby Muhadi membuahkan hasil. Masing-masing investor tersebut menanam lima juta rupiah. Dengan perjanjian bagi hasil setiap bulan yang disepakati bersama. Uang sepuluh juta rupiah itu pun diserahkannya kepada Nurdin, untuk dikelola dalam bisnis jahe tersebut.
Bulan pertama dan kedua, bisnis relatif lancar. Bagi hasil dibagikan kepada investor sesuai kesepakatan. Sementara keuntungan untuk Muhadi, ditahan oleh Nurdin, katanya lebih baik diputar dulu, supaya keuntungan berlipat-lipat. Muhadi menurut saja.
Waktu demi waktu berlalu, Nurdin mulai sulit ditemui. Kalau dihubungi, ia berkelit. Hingga akhirnya, Nurdin benar-benar raib menggondol semua aset bisnis. Lemas rasanya Muhadi menerima nasib sedemikian naas. Sementara di tengah kegundahannya itu, Icah, istrinya, selalu ngambek dan hampir setiap hari meradang.
Sejak saat itulah, gaji bulanan Muhadi harus dipangkas untuk mencicil pembayaran hutang investasi tersebut. Meski para investor itu memberi sedikit keringanan, namun bagi Icah, hidup menjadi teramat sangat berat. Icah harus memutar otak sedemikian rupa agar dapur tetap ngebul, dan anak sulungnya tetap bisa sekolah (si bungsu baru empat tahun, belum sekolah). Salah satu caranya, dengan selalu ngutang sembako pada warung Ceu Iis. Untunglah, Ceu Iis yang perawan tua itu, selalu ringan tangan menolong Icah dan keluarganya.

*  *  *

Brukk!
Icah menghempaskan tubuhnya di kursi yang ada di teras rumah tetangga sebelah, tempatnya curhat.
“Kenapa Cah? Berantem lagi sama kang Hadi?” tanya Wiwin, tetangga Icah.
“Iya, Mbak Win. Aku pusing! Udah gaji kang Hadi nggak seberapa, eh... harus dipotek-potek 1) buat bayar hutang. Sementara kebutuhan terus aja ada,” keluh Icah.
“Selalu itu saja yang jadi masalah kamu, Cah. Seolah hutang itu benar-benar malapetaka teramat dahsyat. Dari hari ke hari, marah-marahmu tiada henti karena hutang itu,” ujar Wiwin.
“Aku nih capek, tiap hari ngider 2) jualan rempeyek. Yaah... untungnya cuma seperak dua perak. Bingung, mau jualan apa buat nambah-nambahin pemasukan keluarga. Nasi uduk, gorengan, kue-kue, udah banyak yang jualan begituan. Mbak Wiwin mah enak, suami istri pegawai negeri. Pak Jaya kerja di kantor pertanahan, mbak Wiwin ngajar. Biar dikata gaji guru kecil, tapi kan dapet apa tuh? Serkasi?” Icah nyerocos panjang.
“Tunjangan sertifikasi,” jawab Wiwin.
“Iya itu. Sodaraku di Bandung yang jadi guru juga dapat. Wah, enak banget dapat berjuta-juta dari tunjangan itu,” tukas Icah, dengan nada sedikit iri.
“Rezeki setiap orang itu nggak mungkin ketuker, Cah. Banyak atau sedikit yang penting berkah. Berkali-kali aku bilang, coba kamu syukuri kesehatanmu, suami yang ganteng, anak-anak yang manis dan sehat, Ceu Iis yang baik mau ngutangin sembako, dan banyak lagi lainnya. Ini mah tiap haringedumel 3) terus soal hutang. Suami diomelin mulu dan ini... mampir ke rumahku sambil manyun. Coba kamu senyum, Cah... kan manis kelihatannya,” papar Wiwin, sedikit menggoda Icah.
Yang digoda, mesam-mesem, tapi langsung nyamber ketus,
“Ah, pokoknya aku udah bilang sama kang Hadi, pingin hutang lunas. Biar bebas, biar ga mumet ngatur uang gaji yang cuma se-uprit itu. Terserah caranya gimana. Aku ga peduli!”
“Masya Allah, Cah. Istighfar,” sahut Wiwin sambil geleng-geleng kepala.

*   *   *

Gerimis tipis membasahi sore. Langit gelap. Sebentar lagi nampaknya akan turun hujan deras. Udara dingin mulai meringkus. Wiwin tergesa melangkah sambil melipat kedua tangannya di dada. Jalan tanah yang becek mengharuskannya berjalan hati-hati bila tak ingin terpeleset. Ketika melewati warung Ceu Iis, nampak Ceu Iis dan ibunya, Mak Ating, terlibat pembicaraan serius dengan Muhadi. Mereka duduk di teras warung. Ceu Iis terlihat menunduk, sementara Muhadi mengangguk-angguk mencermati penjelasan Mak Ating. Karena mereka serius sekali, Wiwin terus saja berjalan tanpa menyapa.
Sesampainya di rumah, Wiwin berbasa-basi sejenak dengan Icah, sebelum masuk ke dalam rumah. Selang beberapa menit, Muhadi pun tiba.
Setelah berada di dalam rumah,
“Cah, aku mau ngomong,” kata Muhadi, mengambil posisi duduk berhadapan dengan istrinya, di ruang tamu.
Icah menghentikan sejenak pekerjaannya, memasang kancing baju seragam anaknya yang copot.
“Apaan Kang? Udah dapet duit buat bayar hutang?” Icah langsung nembak dengan ekspresi yang tetap manyun kalau bicara soal hutang.
“Istriku udah cantik, pinter lagi. Kok tau sih kalau ini soal hutang kita yang sebentar lagi bakal lunas?” Muhadi mencoba mencairkan suasana.
“Ah, ngga usah banyak cingcong 4), Kang. Dapet uang darimana? Gimana caranya? Trus jumlahnya berapa?” berondong Icah.
“Engh... gini, Cah... engh... gimana ya, ngomongnya?” Muhadi jadi terbata-bata.
“Icah ga peduli deh. Terserah caranya gimana! Yang penting, hutang kita, lunas ga?” tanya Icah, masih bernada judes.
“Iya Cah. Dijamin lunas sama dia.” Suara Muhadi malah menurun intonasinya.
“Dia? Siapa? Kok baik banget?” Icah keheranan.
“Iya, dia baik banget, tapi ada syaratnya. Tapi kan, kata Icah, terserah caranya gimana,” jawab Muhadi.
“Dia... siapa? Terus syaratnya apa?” Icah makin tak sabar.
“Hutang kita nanti semua lunas, Cah. Setelah Akang mengucapkan ijab kabul, saat menikahi Ceu Iis,“ terang Muhadi, agak takut-takut.
Icah tercekat, pandangannya nanar. Tubuhnya bergerak limbung..
DHUARR!!
Gelegar petir menyalak keras. Icah pun sempurna luruh tubuhnya. Tapi bukan suara petir yang membuatnya pingsan..
“Lho... Cah, kan kamu bilang sama Akang, terserah! Kok malah semaput?” kata Muhadi sambil membopong tubuh ramping Icah ke kamar.
Kedua anak mereka duduk manis di lantai menghadap televisi, di ruang tengah, yang lebih tepat disebut ruang serba guna. Danu, si sulung, menoleh sekilas, diikuti adiknya.
“Ibu sakit, Pak?” tanya Danu.
Muhadi mengangguk.
“Tapi sebentar lagi juga sembuh,” ujar Muhadi, menenangkan keduanya.
Anak-anak itu kembali asyik memelototi Spongebob.
“Aku lebih baik menjadi idiot, daripada kehilanganmu,” kata Patrick kepada Spongebob.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar