Minggu, 03 April 2011

Dilematika Sistem Pendidikan

Dilematika Sistem Pendidikan
Oleh: Silvia Dwi Jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada
 dimuat di Bangka Pos edisi: 28/Feb/2011 wib


Keseriusan pemerintah Jepang dalam sistem pendidikan negara mereka  terbukti dengan dilakukannya  kerjasama pemerintah, sekolah dan dengan berbagai perusahan serta lembaga setempat dalam waktu-waktu tertentu, melibatkan anak-anak sekolah dalam proses produksi suatu usaha atau layanan jasa. 



Sistem pendidikan di Indonesia banyak mendapat sorotan, terutama menjelang ujian nasional. Pendidikan merupakan hal yang vital bagi pondasi suatu bangsa. Tentu saja, sistem pendidikan haruslah berkualitas dan mampu menjadikan generasi Indonesia generasi yang intelek dan berwawasan luas serta mampu menjadi problem solving bagi permasalahan bangsa ini. 

Sekarang ini, sistem pendidikan di Indonesia lebih menekankan kepada aspek-aspek angka. Para peserta didik dituntut keras untuk mencapai standar-standar kelulusan minimal agar dapat dikatakan tuntas dalam belajar. Akibatnya, tekanan pada siswa begitu tinggi. Apalagi menjelang ujian nasional. Belajar pun ditekankan kepada pelajaran-pelajaran yang di UAN kan. Akibatnya, pelajaran lain yang tidak diujian nasionalkan dianggap seolah-olah tidaklah penting. 

Target-target angka ini juga begitu gencar dilakukan oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Presentase kelulusan siswa merupakan satu-satunya parameter yang dipakai untuk menentukan kualitas suatu sekolah. Sehingga, terkadang banyak sekolah juga diduga kuat seringkali melakukan pembocoran kunci jawaban kepada siswa agar bisa lulus. Tuntutan sistem pendidikan juga membuat peserta didik hanya mengejar nilai dan ijazah. Sehingga, institusi pendidikan hanya dijadikan tempat untuk mengejar ijazah dan angka-angka, bersifat kaku,  bukan sebagai lembaga untuk mengasah potensi, kreativitas siswa, serta  mengembangkan daya pikir dan nalar peserta didik untuk kritis, cerdas (tidak hanya sekadar pintar), dan mampu menganalisis suatu persoalan atau fenomena. 
Semangat Yutori Kyoiku

Kita bandingkan sistem pendidikan kita dengan negara maju, Jepang. Semangat Yutori Kyoiku di Jepang mulai dicetuskan terlebih guna membuat para siswa lebih rileks menjalani proses pembelajaran. Kurikulum 2002 digunakan dengan semangat Yutori Kyoiku dimana muatan pada kurikulum itu sendiri dikurangi hingga 30 persen. Yutori Kyouiku juga memberi kesempatan kepada siswa mengalami proses belajar di luar kelas. Melalui kurikulum seperti ini, para siswa diberi kesempatan untuk belajar mandiri serta berpikir kritis. Sekolah tidak terlalu menuntut ke angka-angka, karena nilai menjadi mubazir apabila peserta didik tidak bisa menterjemahkannya dalam lingkungan sosial mereka sehari-hari. Keseriusan pemerintah Jepang dalam sistem pendidikan negara mereka  terbukti dengan dilakukannya  kerjasama pemerintah, sekolah dan dengan berbagai perusahan serta lembaga setempat dalam waktu-waktu tertentu, melibatkan anak-anak sekolah dalam proses produksi suatu usaha atau layanan jasa. 

Melalui keterlibatan tersebut, siswa diminta untuk melakukan observasi dan terbuka dengan berbagai pertanyaan kritis dimana hasil penelitian itu selanjutnya akan dicatat dan dipresentasikan peserta didik sebagai kesimpulan dari proses belajar.

Dengan demikian, kita bisa belajar dari negara Jepang dan negara lain untuk mulai membenahi sistem pendidikan di negara ini. Peserta didik tidak dididik hanya dengan fokus mengejar angka-angka dan ijazah semata, sehingga kreativitas dan nalar menjadi tidak optimal. Kurikulum harus mampu membuat pembelajaran menjadi rileks dan aktif sehingga peserta didik  dapat lebih berpikir kritis dan kontributif dalam lingkungan sosial dan demi kemajuan bangsa Indonesia. Mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, hendaknya pemerintah  memperhatikan dengan serius pendidikan di Indonesia dengan melibatkan peserta didik dalam berbagai kegiatan yang mengasah potensi, nalar, dan kreativitas mereka. Fasilitas-fasilitas pendidikan juga tentunya harus ditingkatkan agar suasana belajar mengajar menjadi kondusif. Pemerintah juga harus menaruh perhatian lebih kepada daerah-daerah terpencil yang sangat minim SDM guru dan fasilitas. Tentunya, ini merupakan PR bagi pemerintah dan kita bersama untuk menjadikan pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar